Istilah "grass fed," misalnya sempat populer di dunia kuliner. Istilah ini merupakan kata kunci yang menarik konsumen untuk mengonsumsi daging sapi yang hanya diberi pakan rumput.
Istilah "grass fed" bahkan disematkan pada daging yang dijual di supermarket besar. Hingga sajian steak atau burger di restoran mewah.
Wakil ketua firma konsultan makanan Hartman Group, Melissa Abbott mengatakan kini konsumen tak cukup hanya tahu pakan binatang yang dikonsumsi. Mereka ingin memahami dampak peternakkan binatang tersebut pada lingkungan.
|
Sebuah gerakan bernama peternakkan regeneratif (regenerative grazing) pun muncul. Berbeda dari peternakkan konvensional, peternakkan ini berusaha mengembalikan kualitas tanah yang menurun akibat proses penanaman dan panen tanaman.
Salah satunya dengan dengan menumbuhkan lapisan atas tanah. Caranya, membiarkan hewan ternak merumput di tanah tersebut. Kotoran dan sisa makanan ternak nantinya bersifat pupuk alami sehingga mampu mengembalikan kualitas tanah.
Dalam tiga tahun mendatang, Abbott memprediksi restoran dan perusahaan makanan akan menyoroti kualitas daging mereka. Selain menyematkan istilah "grass fed," ada tambahan keterangan "hewan ternak dibesarkan di lahan peternakkan regeneratif."
Ia menambahkan, meski begitu perlu ada sistem verifikasi yang dirancang untuk memastikan klaim "peternakkan regeneratif" memiliki makna.
Dari sisi pelabelan makanan, diprediksi muncul tren "clean labels." Artinya label makanan akan mencantumkan bahan-bahan makanan yang mudah diucapkan dan dimengerti oleh konsumen.
Dampaknya, produsen makanan bereksperimen menambahkan bahan alami untuk meningkatkan cita rasa makanan. Atau mengganti bahan makanan yang buruk bagi kesehatan dengan bahan alami.
|
"Ini adalah perubahan pemikiran bagi para produsen bahan dan makanan," ujar Dave Donnan selaku partner firma konsultan A.T.Kearney. "Mereka tidak hanya mencari pengganti gula tetapi cara mengubah profil rasa makanan. Sehingga tidak dibutuhkan penambahan banyak pemanis di awal," tambahnya.
Lebih jauh lagi, sebuah perusahaan bioteknologi menggunakan jamur untuk menghapus rasa pahit biji kakao. Jadi cokelat kini bisa dibuat dengan lebih sedikit gula.
Sementara perusahaan lain beralih ke protein kedelai dan perasa alami untuk mengurangi kandungan sodium pada makanan.
Pewarna makanan juga tak luput dari pandangan pemerhati tren. Seiring dengan kemunculan tren "clean labels," maka pewarna buatan dengan bahan kimia diganti bahan alami.
Warna merah dan kuning, misalnya, diganti rempah seperti kunyit dan paprika. Namun untuk warna biru dan hijau, agak sulit mencari alternatif alaminya.
|
Tetapi sekarang para produsen makanan menggunakan spirulina untuk memberi warna biru-hijau alami pada makanan. Tahun 2013, produsen permen M&M's mendapat izin dari pemerintah Amerika untuk menggunakan spirulina sebagai pewarna permen dan permen karet.
Penggunaan ini rupanya meluas ke produk sereal, es krim, dan banyak lainnya. Langkah serupa diikuti banyak perusahaan kecil lain seperti pembuatan gummy bears rasa Black Forest.
Data perdagangan The Food Marketing Institute memperkirakan volume penggunaan spirulina untuk makanan dan minuman naik 5 kali lipat dari 2014 hingga 2020. Dan industri pewarna makanan alami akan tumbuh pada tingkat tahunan rata-rata sebanyak 6,8% di rentang waktu tersebut.
(odi/adr)
0 Response to "Istilah "Clean Labels" dan "Regenerative Grazing" akan Populer di Dunia Kuliner"
Posting Komentar